By M Rizal Fadillah
OPINI | Kabardaerah.com – Ini berbicara tentang Revolusi Prancis 1789. Penyerbuan ke penjara Bastille itu meski monumental tetapi belum menjadi gerakan efektif revolusi. Adalah aksi emak-emak yang bergerak dari pasar Paris menuju Versailles menjadi awal gerakan revolusi untuk menumbangkan Raja Louis XVI. Para wanita itu berkumpul di Hotel de Ville Paris 5 Oktober 1789 dengan jumlah massa yang semakin banyak 7 ribu bahkan10 ribu.
Di awali dengan seorang wanita di pasar Faubourg Saint Antoine yang menabuh genderang diikuti gerakan massa wanita dipimpin Stanislas Marie Maillard yang berteriak “a versailles !” menuntut roti dan menyerbu gudang senjata. Seorang pendeta yang melindungi gudang bernama Abbe Levebvre digantung di tiang lampu. Dengan menyeret meriam emak-emak terus bergerak menuju Versailles. Mengepung dan menyerbu Istana.
Serbuan emak-emak yang kemudian didukung elemen revolusioner lain telah memaksa Louis XVI pindah istana ke Paris. Kelak melarikan diri ke perbatasan Austria. Pelarian tersebut gagal sehingga Louis XVI dan keluarganya dipaksa kembali ke ibukota untuk menjalani pengadilan rakyat. Keduanya dihukum penggal di bawah guillotine beberapa waktu kemudian.
Revolusi selalu ada pencuri. Seseorang yang awalnya bergerak bersama untuk mengubah keadaan ternyata ujungnya “berkhianat” dalam memanfaatkan kekuasaan. Pada situasi transisi ini mereka berperilaku otoriter dan oligarkis. Akhirnya para penikmat revolusi itu harus merasakan tajamnya guillotine. Mereka adalah Charlotte Corday, Duke Orleans, Georges Danton dan Maximilien Robespierre.
Ada empat pelajaran penting dari Revolusi Prancis bagi siapapun yang memiliki semangat perubahan.
Pertama, kondisi Prancis saat itu di bawah rezim Louis XVI mengalami krisis ekonomi berat. Memiliki Menteri Keuangan gagal mengatasi krisis. Hutang besar. Turgot sang Menteri justru memberlakukan pajak regresif yang justru memberatkan rakyat. Rakyat marah.
Kedua, gaya hidup bangsawan yang hedonis di tengah rakyat yang mengalami kesulitan dan rendah daya beli. Elit istana dan birokrasi hidup mewah. Marie Antoinette merepresentasi kemewahan, pemborosan dan kesenjangan. Istri Louis XVI ini diberi gelar “madame deficit”. Membangkrutkan negara.
Ketiga, penjara Bastille adalah lambang kesewenang-wenangan. Penyerbuan dan pembebasan tahanan oleh rakyat adalah perlawanan dan keberanian rakyat untuk bangkit dari ketidakberdayaan. Meski jumlah sisa tahanan hanya 7 orang tapi penyerbuan itu menjadi simbol penting untuk melawan tirani dan ketidakadilan.
Keempat, penentu sukses revolusi ternyata adalah aksi heroik wanita atau emak-emak. Urusan dapur yang membuat kaum senasib bersatu. Bergerak bersama menerobos Istana membuat raja dan ratu menyerah. Klub revolusi wanita “society of revolutionary republican woman” menjadi strategis dan dihargai bahkan ditakuti. Slogan revolusi liberte, egalite, fraternite ternyata bersimbol perempuan.
Nah, siapa dan dimanapun penguasa negara tidak boleh berperilaku tiran, memberatkan rakyat dengan pajak-pajak, hidup mewah dan banyak hutang. Dan tentu saja tidak boleh menganggap enteng perempuan. Jika sudah bergerak maka sulit dihentikan.
Absolutisme yang dibangun Louis XIV dengan menyatakan negara adalah aku–l’etat c’est moi menyebabkan kemerosotan terus hingga Louis XV “le bien aime” (yang dicintai) justru dibenci rakyat, kurang moral dan gagal memperbaiki Prancis.
Puncak defisit negara ada pada Louis XVI hingga rakyat memutuskan untuk melakukan revolusi. Revolusi rakyat dimulai dengan “etats generaux1789” dan sukses setelah emak-emak bergerak menuju Versailles “le bon papa”. Inilah gerakan emak-emak penentu revolusi.
Louis XVI “bon papa” dan Marie Antoinette “madame deficit” dihukum mati.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 1 April 2023
Discussion about this post