OPINI | KABARDAERAH.COM – Seiring dengan “aroma tak sedap dana aspirasi” di Bumi Muda Sedia ini, yang dari tahun ke tahun dana aspirasi yang notabenya bersumber dari pajak rakyat malah digunakan pada hal-hal yang kurang dan bahkan tidak bermanfaat bagi masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang.
Masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang menilai bahwa, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Kabupaten melalui Badan Anggaran selalu berencana mengajukan “jatah” anggaran untuk setiap anggota melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/Kabupaten (RAPBD). Anggaran yang kemudian mereka sebut sebagai dana aspirasi.
Polemik dana aspirasi ini sesungguhnya sempat muncul pada tahun-tahun sebelumnya. Alibi yang disampaikan relatif tidak berubah, mulai alasan representatif hingga memajukan daerah konstituen.
Agenda untuk mengejar dana aspirasi atau dalam nama apa pun sudah diperjuangkan jauh hari melalui revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Ketentuan dalam Pasal 80 huruf j UU MD3 menyebutkan bahwa setiap anggota DPR berhak untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil).
Inilah pintu masuk yang dijadikan alasan DPRK untuk meloloskan alokasi dana aspirasi melalui APBK.
Karena itu, membaca wacana munculnya dana aspirasi kali ini, tak bisa dilepaskan dengan keberadaan pasal tersebut.
Tafsir “memperjuangkan program dapil” dalam UU yang kemudian dikonkretkan oleh para politikus dalam bentuk dana aspirasi merupakan sebuah interpretasi yang keliru. Karena, memperjuangkan program dapil, menurut UU tersebut, seharusnya dimaknai sebagai perjuangan bertingkat dalam pembahasan Musyawarah Rencana Pengembangan (Musrenbang) bertingkat hingga pembahasan anggaran bersama eksekutif. Bukan justru meminta block grant alokasi dana yang tidak jelas mekanisme kontrol dan indikator prioritasnya.
Hal ini akan berujung pada kekacaubalauan program pembangunan dalam skala Daerah maupun Nasional.
Karena, pembangunan daerah ditentukan berdasarkan “selera politikus” atas anggaran yang mereka kuasai. Tidak ada lagi pembeda mana yang prioritas dan tidak.
Bukan tidak mungkin yang terjadi justru, semisal masyarakat butuh jembatan, tapi yang dibangun malah taman.
Misi Politik
Rasionalisasi dana aspirasi ini sesungguhnya sulit untuk bisa dijelaskan dari pendekatan yuridis. Karena, harus menggunakan tafsir sistematis dengan peraturan-peraturan lainnya, semisal UU Keuangan Negara (UU 17 Tahun 2003). Sehingga, UU MD3 tidak bisa dijadikan legitimasi tunggal untuk membenarkan kemunculan dana aspirasi.
Fenomena dana aspirasi akan lebih mudah dicerna dalam pendekatan politik. Model yang sama sering kali disebut sebagai pork barrel atau gentong babi dan dipraktekkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Filipina. Pada kenyataannya, dana tersebut banyak menimbulkan skandal-skandal politik hingga korupsi.
Munculnya dana aspirasi sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan motivasi para politikus untuk bisa terus survive di DPRK.
Dana aspirasi adalah agregasi dari misi politik. Seluruh caleg mengeluarkan sumber daya yang besar, bahkan saling tikam sesama caleg dalam satu partai terus terjadi.
Skema dana aspirasi akan membuat Incumbent/Petahana berada di atas angin karena bisa menggunakan sumber dana APBK untuk bertahan. Dana yang digelontorkan sepanjang tahun tersebut akan menjadi modal kampanye untuk bisa dipilih lagi oleh konstituen pada pemilu berikutnya.
Alhasil, pemilu legislatif menghadirkan persaingan tak setara antara pemula dan petahana. Padahal pemilu idealnya dilakukan di atas lapangan yang setara di antara semua kandidat untuk mencapai sebuah Fairness.
Menambah Masalah Baru
Tidak berhenti di situ, permasalahan terbesar di depan mata justru berkaitan dengan potensi korupsi masif dari anggaran cekak tersebut. Hampir dapat dipastikan berbagai modus korupsi, seperti kick-back, proposal fiktif, dan perdagangan pengaruh, akan terjadi dalam pengelolaan dana tersebut.
Sekalipun sejumlah anggota DPRK beralasan dana tersebut tidak mungkin akan dikorupsi dan mereka akan mengelola secara transparan, publik tentu tidak akan mudah percaya dan langsung mengamininya.
Hal ini berkaca pada kasus-kasus korupsi yang ditangani penegak hukum, yang memiliki dimensi penganggaran.
Dapat dibayangkan, dalam mekanisme penganggaran yang “normal” saja masih memiliki titik lemah sehingga rawan dikorupsi. Apalagi dalam skema penganggaran abnormal, seperti dana aspirasi. Otonomi pengelolaan dana aspirasi ke masing-masing anggota tentu sudah dapat dipastikan akan memunculkan banyak sekali potensi penyimpangan.
Pada titik ini, sesungguhnya publik akan sangsi faedah dari dana aspirasi bagi pembangunan daerah. Lihat saja hasil proyek-proyek mangkrak hasil korupsi, Yang terjadi justru anggaran habis tapi tidak dapat dimanfaatkan.
“Oleh karena itu, publik harus tau Pajak yang kita bayar harusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan justru untuk kemakmuran politikus ” ucap masyarakat tersebut mengakhiri.
Yusda : Kuala Simpang 29 Maret 2023.
Discussion about this post