oleh M Rizal Fadillah*
Mantan KSAD Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto dan Guru Besar UI Prof Sri Edi Swasono, MPIA, Ph.D termasuk dalam 100 tokoh penanda tangan Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat “Makzulkan Jokowi”. Bahkan Prof Sri Edi Swasono ikut hadir dalam acara mengantar Petisi ke MPR RI Senin 20 Juli 2023 kemarin.
Penandatangan lainnya antara lain Letjen (Purn) Yayat Sudarajat, SE, Letjen MAR (Purn) Suharto, Letjen TNI (Purn) Syam Soemanegara, DR. Abdullah Hehamahua, SH MM, Prof DR Amien Rais, MA, Prof DR Anthoni Budiawan, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, DR Marwan Batubara, Drs. H Hatta Taliwang, Habib Muchsin Alatas, Prof. Ir. Daniel M Rosyid, M.Phil, PhD, DR Syahganda Nainggolan, H. Dindin S Maolani, SH, Mudrick Malkan Sangidu, Muslim Arbi dan banyak tokoh lainnya.
Petisi yang dibacakan oleh akademisi UNPAD Prof DR Ir Ana Rochana, MS itu diterima oleh anggota MPR H Tamsil Linrung. Berisi tuntutan atau seruan mendesak DPR dan MPR untuk memproses pemakzulan Presiden Jokowi sesuai mekanisme yang berlaku dan meminta seluruh elemen bangsa untuk secara konstitusional memulihkan kerusakan rakyat yang telah terampas oleh elit oligarki.
Entah kapan munculnya ungkapan atau teriakan yang menggaungkan “makzulkan Jokowi” hanya saja hal itu telah menjadi bentuk mengecewakan kinerja pemerintahan Jokowi. Dalam aksi mahasiswa ataupun buruh sering tersisip adanya aspirasi untuk mendesak Jokowi mundur atau dimakzulkan. Begitu juga dalam aksi emak-emak dan umat Islam.
Menjelang akhir masa jabatan Jokowi pada periode kedua ini justru suara “makzulkan Jokowi” semakin nyaring. Muncul aspirasi ulama dan tokoh Jawa Timur yang disampaikan ke MPR, seruan “people power” dari Solo Jawa Tengah, suara ulama dan tokoh Sumatera Barat, adapula aksi “makzulkan Jokowi” di Jakarta dan Bandung Jawa Barat.
Semakin kuatnya gaung pemakzulan diakhir masa jabatan ini disebabkan tidak terlihatnya semangat Jokowi untuk mengakhiri jabatan dengan baik. Jokowi tidak merasa nyaman apalagi minta maaf pada rakyat serta membuat kemashlahatan. Justru ia terkesan semakin terang-terangan cawe-cawe dalam rangka ingin “memperpanjang” kekuatannya. Rakyat menilai bahwa Jokowi sudah tidak mampu dan terlalu besar dosa politik yang ditanggungnya.
Petisi 100 “Makzulkan Jokowi” mengingatkan kita pada Petisi 50 di masa Orde Baru yang mengantarkan makzulnya Presiden Soeharto. Jumlah yang lebih banyak bukan berarti Jokowi lebih berat, akan tetapi hanya sebagai pukulan yang lebih keras. Presiden Suharto di tengah kelemahannya tetap menyayangi negarawan dengan memahami perasaan rakyat. Dia adalah diri sendiri.
Presiden Jokowi seperti “tidak peduli” dengan perasaan rakyat yang kecewa atas kebijakan politik yang diambilnya. Meski sudah tidak memiliki kemampuan untuk menunaikan amanah tetapi masih jumawa merasa dibutuhkan oleh rakyat. KKN dianggap biasa, hukum dijadikan alat politik, ekonomi semakin memberatkan, serta agama yang dipinggirkan. Kesesatan dipelihara dan dibiarkan.
Ada pihak berujar buat apa yang memakzulkan Jokowi hingga kurang dari setahun lagi juga Jokowi akan turun pasca Pemilu 2024. Pihak ini lupa akan dua hal yaitu pertama benarkah Pemilu itu akan terjadi dan kedua akankah Pemilu itu akan berjalan jujur dan adil atau dilaksanakan dengan kecurangan yang dahsyat ? Rezim Jokowi adalah rezim yang “menghalalkan segala cara”.
Petisi 100 mengingatkan bahwa sumber masalah ada pada kepemimpinan Jokowi yang tidak kredibel dan dikendalikan. Makzulnya Jokowi adalah awal dari upaya pemulihan kekayaan rakyat. Tanpa Jokowi, rakyat akan mengawal Pemilu yang jauh lebih bersih dan jujur. Pemimpin yang berkualitas dapat terpilih.
Makzulkan Jokowi menjadi seruan yang rasional dan konstitusional. Petisi 100 menggulirkannya untuk kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik.
Rakyat yang benar-benar berdaulat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 21 Juli 2023
Discussion about this post