Foto: Supriato, ST (Ketua DPR Kabupaten Aceh Tamiang)
Aceh Tamiang | Kabardaerah.com – Tahun baru Islam 1 Muharram 1445 yang tahun ini jatuh pada tanggal 19 Juli 2023 dimaknai sebagai hijrah atau perjuangan meninggalkan hal buruk untuk mendapatkan bantuan.
Tahun baru Hijriyah adalah tahun baru dalam penanggalan kalender hijriah atau tahun baru bagi umat islam. Tahun baru Islam diperingati setiap 1 Muharram.
Sejarah bulan Muharram
Sejarah 1 Muharram tahun baru Islam, awalnya ditandai dengan peristiwa besar berupa peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari kota Mekkah ke Madinah pada 622 Masehi. Hal tersebut menjadikan sebuah penaamaan kalender Islam.
Hijrah sendiri diartikan sebagai perjuangan meninggalkan hal-hal buruk ke arah yang lebih baik. Dan, kini peristiwa hijrah diartikan sebagai pembelajaran nilai kebaikan untuk diri sendiri, seperti berani meninggalkan sesuatu yang buruk yang merugikan diri sendiri dan beralih pada sesuatu yang baik.
Kaum yang berhijrah (Muhajirin) sungguh-sungguh telah melakukan suatu perjuangan besar. Mereka rela meninggalkan tanah kelahiran, keluarga, harta benda, dan segala kepentingan duniawi lainnya. Perjuangannya adalah membangun ekosistem baru yang lebih kondusif bagi perkembangan Islam. Allah menjanjikan kebaikan yang besar kepada mereka.
Dalam pengertian yang lebih luas, hijrah tidak hanya berkaitan dengan peristiwa sejarah tertentu, tetapi juga semangat memperbaiki diri. Rasulullah SAW pernah mendoakan, se- bagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Tidak ada lagi hijrah sesudah pembukaan Kota Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat tulus.
Hikmah 1 Muharram
Dengan kisah di balik 1 Muharram di atas, sudah sepatutnya peringatan 1 Muharram bisa jadi momentum perubahan diri (hijrah) menjadi manusia yang lebih baik.
Hijrah berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Secara filosofis, makna ini terkesan bahwa jika umat Islam menginginkan suatu kebaikan dunia akhirat, maka harus bergerak dinamis dan tertata dengan baik.
Dua Bentuk Hijrah
Ada dua bentuk hijrah dalam ajaran Islam, yakni hijrah fisik dan hijrah rohani (maknawi).
Pertama , hijrah secara fisik pernah terjadi sebanyak tiga kali. Dua kali ke negeri Habasyah (Ethiopia) yang berada di ujung benua Afrika dan satu kali ke Yastrib atau Madinah.
Hijrah fisik ini membuktikan betapa hebatnya pengorbanan para sahabat dengan melakukan perjalanan yang sangat jauh menjembatani dua benua Asia dan Afrika. Menelusuri luasnya Hamparan gurun sahara di bawah terik matahari yang membakar serta terpaan badai gurun pasir.
Mengarungi lautan sebelum pada akhirnya sampai ke tempat tujuan. Namun demikian, semua rintangan berat tersebut mereka hadapi dengan penuh kesabaran dan kesabaran. Tujuannya tidak lain hanya untuk menyelamatkan akidah yang telah ditanamkan Rasulullah SAW di dada mereka.
Kewajiban hijrah secara fisik memang sudah berakhir setelah penaklukan kota Mekkah, namun apakah spiritnya masih tetap bersemayam di hati generasi demi generasi umat Islam saat ini? Ataukah sejarah kepahlawanan perjuangan para sahabat ini hanya tinggal kenangan sejarah tergerus oleh penyakit pola pikir materialisme yang seringkali menjangkiti manusia modern? Istafti qalbaka, tanyalah kepada hati nuranimu, di sana ada jawaban yang jujur.
Kedua , hijrah rohani (maknawi). Secara fisik, jasad kita tetap berada di suatu tempat, namun hati dan pikiran, prilaku dan jiwa telah berhijrah. Mengubah kondisi dari yang tidak baik menjadi keadaan yang baik, dari keadaan yang baik menjadi keadaan yang lebih baik.
لَاهِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَةٌ
Artinya: Tidak ada kewajiban hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, melainkan jihad dan niat.
Jihad dalam Islam tidak bisa dipahami secara sempit dalam arti hanya menuntutan terhadap kaum kafir saja. Namun jihad di masa sekarang ini dipahami secara lebih luas dan kontekstual.
Misalnya, jihad bagi para pemimpin adalah dengan keadilan, amanah, tanggung jawab untuk selalu memikirkan kesejahteraan rakyat.
Rasulullah pernah mengatakan bahwa: Sehari keadilan seorang pemimpin lebih utama daripada ibadah 60 tahun. Dan satu hukum yang ditegakkan di bumi Allah akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari. (HR Bukhari dan Muslim).
Itulah hikmah 1 Muharram 1445 Hijriyah yang bisa dipetik oleh umat Islam.
Pandangan 1 Muharram di Bumi Muda Sedia
Dalam kesempatan ini Supriato, ST yang saat ini sebagai Ketua Partai Gerindra Kabupaten Aceh Tamiang sekaligus sebagai Ketua DPR Kabupaten Aceh Tamiang memaknai 1 Muharram adalah sebagai bentuk untuk merubah diri agar menjadi lebih baik.
Suprianto mengatakan, menurut hemat saya pribadi atas dinamika yang terjadi saat ini di Kabupaten Aceh Tamiang dalam beberapa persoalan terutama dalam proses penjaringan Komisioner Independen pemilihan Kabupaten Aceh Tamiang tentunya sangat disayangkan, dengan segala hal yang terindikasi cacat hukum dan menyalahi aturan tentunya juga akan menghasilkan produk turunan yang cacat juga.
Diskresi hari ini akan menjadi contoh buruk untuk 5 tahun kedepan yang akan kita hadapi dengan Pileg, Pemilu, dan Pilkada secara berbarengan, apakah mungkin kita menyimpan menyapu dan membersihkan halaman bumi muda sedia dengan sapu yang tidak layak kita pakai.
Tentunya hal ini berdampak bagi kita semua sebagai masyarakat yang bercita-cita terwujudnya Aceh Tamiang yang sejahtera, maju, damai, dan berakhlak. Tetapi saudara-saudara dampak terbesar dari buntut kasus ini adalah generasi yang akan meneruskan kepemimpinan estafet di masa depan, kaum intelektual dan mahasiswa yang kita juluki sebagai agen perubahan.
Kita sebagai masyarakat harus peduli dan berpartisipasi dalam politik agar cita-cita terwujud dan harapan kita semua.
Saya tutup komentar pribadi ini dengan mengutip kutipan penyair asal Jerman bernama Bertolt Brecht
“Buta terburuk adalah buta politik”, Dia tidak mempedulikan politik dengan panca inderanya. Karena dia tidak mau tahu politik akibatnya adalah, perampokan, anak terlantar, serta korupsi terjadi di depan matanya. (YS)
Discussion about this post